Para pengunjuk rasa membentuk rantai manusia di Victoria Peak untuk merayakan Pamerran Pertengahan Musim Gugur, 13 September 2019. Foto: Alex Yun untuk Lausan

Mampukah ‘kota global’ kita menawarkan solidaritas transnasional?

Asli: Terbit pertama kali di Stand News

Penulis: Jacky Chan Man Hei

Penerjemah: Ellena

Diterjemahkan oleh sukarelawan dari komunitasi kami. Hubungi tim penerjemah untuk informasi lebih lanjut.

Catatan penerjemah: Malam ini warga Hong Kong melakukan unjuk rasa di Chater Garden untuk mendukung warga Catalunya dalam menentang brutalitas polisi dan penindasan Spanyol. Perdebatan hebat yang berkembang di LIHKG dan Telegram berputar di antara manfaat atau pukulan balik yang akan kita terima dari dari gestur solidaritas semacam ini. Sebagian berpendapat bahwa dukungan semacam ini akan mengalienasi mereka yang sejak dulu telah mendukung Hong Kong, terutama pendukung yang ada di Amerika Serikat, tepat ketika Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong sedang dibahas di Senat; atau menghubungkan perjuangan Hong Kong dengan perjuangan Catalunya dapat menggiring orang untuk mengira bahwa kita pro-kemerdekaan dan mendukung gerakan separatis.

Sehari sebelum protes berlangsung, aktivis Jacky Chan Man Hei, mantan Sekretaris Jenderal Federasi Pelajar Hong Kong, menulis bahwa dengan berangkat dari visi “Hong Kong untuk dunia”, maka kita seharusnya tidak hanya mengurusi kepentingan diri sendiri, namun juga menginvestasikan diri dalam membangun kekuatan dan solidaritas internasional yang tulus bersama warga lainnya yang sedang ditindas oleh negara. Contohnya, dalam mendiskusikan ‘6 Tuntutan’—untuk membubarkan satuan kepolisian—Chan berargumen: “Terkoneksi dengan mereka yang berjuang di Catalunya dan wilayah lainnya di seluruh dunia serta belajar dari pengalaman mereka akan membantu kita menemukan solusi bagi pertanyaan-pertanyaan kita di sini.”

Dalam beberapa hari terakhir, forum-forum daring dibuat sibuk dengan diskusi hangat tentang “Pertemuan Solidaritas Hong Kong-Catalunya” yang direncanakan berlangsung esok malam di Chater Garden. Ada sejumlah poin kunci dari perdebatan yang terjadi: “Mendukung Catalunya sama artinya dengan mendukung kemerdekaan Catalunya, yang akan memberikan alasan jitu bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk menyebut kita sebagai gerakan separatis”; “Mendukung Catalunya dapat merugikan proses legislasi Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong di AS.”; “Kenapa kita hanya mendukung Catalunya—bagaimana dengan Indonesia, Lebanon, Chili, dan negara-negara lainnya?”; dst. Terkait hal ini, pihak penyelenggara pun melakukan klarifikasi mengenai tujuan dari pertemuan tersebut:

  1. Untuk meminta pemerintahan Spanyol menghadapi demonstran Catalunya dengan cara-cara damai;
  2. Untuk mengutuk kepolisian Spanyol atas perlakuan brutalnya terhadap para demonstran;
  3. Tidak ada seorang pun yang layak dipenjara hanya karena pandangan politiknya.

Saya mendukung penuh unjuk rasa untuk Catalunya dan sepakat bahwa tiga poin itulah yang harus menjadi tujuannya. Saya mengajak kita semua untuk ikut dalam unjuk rasa tersebut. Saya punya tiga alasan:

I. Untuk melampaui Hong Kong yang hanya mementingkan diri sendiri

Hong Kong telah menjadi garda depan perkembangan kapitalisme. Dalam logika neoliberalisme, individualisme adalah hegemoni dan semua orang bertindak hanya berdasarkan kepentingan dirinya sendiri. Kompetisi telah menjadi makna hidup dari warga Hong Kong. Begitu kita meninggalkan rahim ibu, tanpa henti kita diajarkan untuk meningkatkan daya saing kita dengan belajar dan mencari keterampilan lebih untuk bisa merangkak naik di tangga sosial. Nilai-nilai seperti komunitas, solidaritas, tolong-menolong, dan persahabatan dikesampingkan demi kepentingan pribadi dan capaian ekonomi. Dengan kata lain: “Selesaikan saja urusanmu sendiri sebelum memikirkan orang lain.”

Namun, ini tidak menggambarkan keseluruhan cerita.

Protes para Manusia Perahu Yau Ma Tei di akhir 1970-an, gerakan pro-demokrasi di 1989, protes terhadap sterilisasi pemukiman kumuh di atap Apartemen Kingland di 1995, demonstrasi 1 Juli menentang Artikel 1 di 2003, perlawanan untuk menghadang penghancuran dermaga The Queen dan Star Ferry, Gerakan Payung di 2014, dan gerakan anti-ekstradisi yang sedang berlangsung sekarang—sejarah ini menunjukkan sisi lain warga Hong Kong: bahwa mereka tidak pernah abstain dari perjuangan nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan. Bila kita ingat balik yang terjadi di 2014, berbagai titik perlengkapan, titik P3K, dan ruang-ruang belajar tumbuh di setiap zona okupasi untuk mendukung mereka yang melakukan aksi. Saat itu, kita tidak membedakan satu sama lain—saling menjaga tiap orang, tak peduli apakah mereka cuma lewat, mampir, atau ikut berkemah di jalan. Beberapa peserta bahkan bolos sekolah atau bolos kerja, serta mengorbankan waktu dengan keluarga mereka untuk membawa asupan harian ke titik perkap dan memasak untuk para peserta aksi. 

Musim panas kali ini, dalam perjuangan kita melawan undang-undang ekstradisi dan brutalitas polisi, sekali lagi kita melihat sisi terbaik dari Hong Kong. Kita tidak lagi didorong kepentingan diri kita sendiri. Kita rela terjaga sepanjang malam membuat literasi protes, mengelola perangkat dan kebutuhan aksi, mendirikan Tembok-tembok Lennon; kita berani menantang Peringatan Badai Topan Level 8 untuk pergi ke pengadilan dan berdiri bersama kawan-kawan kita; kita rela menyisihkan uang untuk menyediakan angkutan dan peralatan bagi para peserta aksi; kita rela terancam ditangkap untuk bisa menyelamatkan kawan-kawan kita yang berdiri di garis depan, bahkan hingga detik-detik terakhir, sambil berharap peserta aksi yang tertembak bisa diselamatkan. Ini adalah cinta kita terhadap Hong Kong dan bagi warga Hong Kong; ini adalah upaya kita untuk membela nilai-nilai universal.

Jika ini adalah wajah Hong Kong, dan beginilah seharusnya Hong Kong, maka kita harus berdiri bersama Catalunya. Kita mungkin tidak punya “cinta” untuk mereka—”cinta” kita pada mereka mungkin tertuju pada pemandangan, makanan, atau pemain sepak bola mereka. Namun, jika kita bicara tentang nilai-nilai universal, maka inilah kesempatan kita untuk menunjukkan pada dunia kepercayaan kita. “Nilai-nilai universal” yang dipercayai oleh warga Hong Kong adalah “universalitas” dalam kebutaannya untuk membeda-bedakan etnis, geografi, agama, seksualitas, dan berbagai perbedaan lain yang kita miliki sebagai manusia. Selama kita meyakini kebenaran, apapun yang kita terima sebagai timbal baliknya, kita harus bisa berdiri tegak. Kita selalu seperti ini, dan kita akan selalu bersikap seperti ini. Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong (HKHRDA) akan memberi sanksi pada para elit yang merenggut hak asasi warga Hong Kong. Jika kita sendiri tidak bersikeras untuk mewujudkan hak asasi, demokrasi, dan kebebasan kita sendiri, maka bagaimana kita bisa menyakinkan orang lain untuk meloloskan hukum yang akan menjamin hak kita?

II. Membangun front anti-otoritarian global

Tentu saja ini bukan cuma tentang Catalunya. Kita juga harus berdiri bersama mereka yang sedang berjuang melawan penindasan di Indonesia, Lebanon, Chili, Tibet, Turki Timur, dan berbagai tempat lainnya. Jika kita harus menunjukkan konsistensi kita dalam bersolidaritas dengan mengorganisir unjuk rasa untuk kawan-kawan di wilayah tersebut, saya pasti akan mendukungnya. Unjuk rasa untuk Catalunya hanyalah langkah awal dari berbagai aksi solidaritas lainnya yang akan datang. Otoritarianisme dan brutalitas polisi melampaui batas-batas geografi; dan yang lebih penting lagi, rezim-rezim tersebut juga saling berbagi metode dan teknologi untuk mengawasi dan mengontrol warga negaranya sendiri. Karenanya, ketika para penindas di seluruh dunia telah membangun aliansi penguasa global, maka rakyat yang tertindas di berbagai belahan dunia harus berdiri bersama—berbagi teknik dan sumberdaya satu sama lain, seperti yang telah dilakukan oleh lawan kita.

Saya paham bahwa “diplomasi rakyat” jauh lebih besar dari sekadar meminta dukungan politisi asing. Lebih penting lagi, kita perlu terkoneksi dengan orang-orang di negara lain. Sebagaimana kita iri terhadap demokrasi, masyarakat, dan sistem pendidikan di negara lain, kita juga harus berempati dengan perjuangan dan luka yang mereka alami. Kekerasan polisi di Catalunya bisa jadi lebih mengerikan daripada di Hong Kong—sebagaimana pada demonstrasi-demonstrasi yang berlangsung di beberapa minggu terakhir: lebih dari enam puluh jurnalis dianiaya dan ditangkap. Tentu saja, kita jelas tidak bisa membela Satuan Kepolisian Hong Kong. Justru kita harus berpikir bagaimana kita bisa mengimplementasikan tuntutan kita untuk membubarkan dan mereformasi kepolisian. Berjejaring dengan mereka yang berjuang di Catalunya dan berbagai area lain di dunia serta belajar dari pengalaman mereka dapat membantu kita untuk menemukan solusi dari pertanyaan-pertanyaan kita di sini.

Ketika para penindas di seluruh dunia telah membangun aliansi penguasa global, maka rakyat yang tertindas di berbagai belahan dunia harus berdiri bersama—berbagi teknik dan sumberdaya satu sama lain, seperti yang telah dilakukan oleh lawan kita.

Republik Rakyat Tiongkok secara perlahan telah melebarkan kekuatannya ke berbagai bagian dunia—Hong Kong hari ini sangat mungkin menjadi Afrika Selatan, Belanda, Jerman di masa depan. Di lini depan perlawanan terhadap Tiongkok dan otoritarianisme, warga Hong Kong harus bisa berdiri dengan tegas di sisi mereka yang juga sedang dalam perjuangan serupa. Melalui solidaritas antar rakyat tertindas di berbagai belahan dunia, kita dapat membangun jejaring perlawanan untuk mengepung otoritarian, memobilisasi masyarakat negara-negara lain untuk melobi legislasi perlindungan HAM seperti HKHRDA, dan menjaga demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia dimanapun.

III. Mengaktualisasi agensi Hong Kong

Beberapa hari lalu Tsai Tsun-Wai menulis artikel berjudul “Beyond a Hong Kong of the World”. Di sana, ia menekankan bahwa dalam merespon gerakan anti-ekstradisi, “Warga Hong Kong telah membuang belenggu masa lalu dan teguh menolak objektifikasi yang terjadi terus-menerus, penyingkiran, pembodohan, dan penginjak-injakan harga diri Hong Kong, dan telah memasuki cara hidup baru. Ini menunjukkan agensi Hong Kong dan menjadi langkah penting untuk memulihkan semangat Hong Kong.” Dengan berbagai metode (membeli ruang iklan di koran-koran international, demonstrasi, lobi), warga Hong Kong telah menggaungkan suara mereka ke ranah internasional dan menunjukkan subyektivitas Hong Kong. Melalui intervensi, guncangan, dan transformasi sistem internasional yang tidak dapat ditebus, warga Hong Kong telah memenangkan apresiasi dari dunia yang belum pernah mereka dapatkan selama ini.

Aksi solidaritas untuk Catalunya dan diskusi yang muncul merupakan kesempatan kita untuk menunjukkan dan memantapkan agensi warga Hong Kong. Dalam front internasional, kita memperhatikan betul sikap Amerika Serikat, Britania Raya, dan Uni Eropa. Pada saat yang sama, kita berharap bahwa mereka dapat memahami posisi kita dan menghargai gagasan kita. Namun pertanyaannya adalah, apa gagasan warga Hong Kong? Jika kita tidak punya gagasan, bagaimana orang lain bisa merespon? Lebih jauh lagi, bisakah kita punya gagasan kita sendiri, atau kita harus dibatasi caturangga politik internasional? Saya percaya bahwa apapun posisimu, keberanian untuk bicara harus menjadi langkah awal kita untuk menyingkirkan belenggu kita. Tiga puluh tahun lalu, kita kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam negosiasi Sino-Inggris—sejak awal, meja berkaki tiga ini dibiarkan berdiri hanya dengan dua kaki. Warga Hong Kong tidak pernah punya kesempatan untuk angkat bicara dalam tingkat internasional tentang pengaturan pasca-1997 untuk wilayah mereka. Kali ini, warga Hong Kong harus memanfaatkan momen ini, mengambil sikap konkret di panggung internasional, dan menyatakan ide-ide kita dengan keras dan menentukan posisi kita dalam politik internasional. Selain itu, apapun yang terjadi, banyak media asing sudah membandingkan Hong Kong dan Catalonia. Alih-alih membiarkan kekuatan yang lain menafsirkan situasi kita, mengapa kita tidak mengambil kesempatan untuk mengekspresi sendiri sikap kita dengan serius? Yakni bahwa warga Hong Kong adalah warga yang gigih untuk mendorong perwujudan hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan dan nilai-nilai universal lainnya. 

Lebih jauh lagi, bisakah kita punya gagasan kita sendiri, atau kita harus dibatasi caturangga politik internasional?

Menyimpulkan artikelnya, Choi bicara tentang “kekosongan 5 detik” dalam serah terima kedaulatan Hong Kong. Dalam pergulatan kekuasaan antara Tiongkok dan Inggris, “kekosongan 5 detik” itulah yang menjadikan keberadaan “Hong Kong” menjadi gamblang. Lantas, bagaimana kita mengisi kekosongan ini? Hong Kong seperti apa yang ingin kita bangun? Jawabannya telah begitu jelas kita lihat di jalanan sepanjang empat bulan terakhir—dan itulah yang akan kita lihat besok malam: ”Hong Kong untuk dunia” yang melampaui dirinya sendiri. Sampai jumpa di Chater Garden.


[1] Kutipan: “Untuk mengoordinasikan upacara pengibaran bendera dalam serah terima, perwakilan dari Inggris dan Tiongkok melakukan 16 putaran negosiasi diplomatik. Tiongkok mendesak agar benderanya dikibarkan pada jam 00:00:00 di 1 Juli 1997, dengan tujuan agar Inggris tidak memiliki Hong Kong barang sedetik pun lagi. Inggris tidak mau mengalah dan bersikeras kalau Tiongkok tidak bisa mengibarkan bendera sebelum 30 Juni berakhir. Akhirnya, kedua pihak sepakat bahwa Inggris akan menurunkan bendera pada 11:59:58. Dua detik terakhir itu seharusnya jadi waktu yang cukup bagi konduktor orkestra militer Tiongkok untuk menaikkan tongkatnya supaya lagu kebangsaan bisa berkumandang. 

Kedua hegemoni itu bersikeras di setiap detik bahwa mereka memiliki Hong Kong, namun sejarah pun memainkan lelucon praktis pada semua orang. Inggris menurunkan bendera Union Jack pada 11:59:53 di 30 Juni 1997—7 detik lebih awal. Meskipun demikian, konduktor orkestra militer Tiongkok baru menaikkan tongkatnya pada detik ke-58 dan lagu kebangsaan baru berkumandang pada 1 Juli. Maka, dari 11:59:53 sampai 11:59:58 pada 30 Juni 1997 terjadi “kekosongan 5 detik”.

Seorang penulis pernah berkata: dalam lima detik itulah, ia benar-benar merasakan keberadaan “Hong Kong.”