Siswa SMA bergabung dengan pendemo menentang larangan penggunaan masker wajah pada hari pertama implementasi peraturan tersebut, 4 Oktober 2019. Foto: Alex Yun dari Lausan.

Anak-anak di barisan depan! Mengkaji ulang sistem politik perlindungan anak

Ketika negara menggunakan istilah ‘perlindungan anak’ sebagai alasan untuk penindasan.

Asli: Children to the front! Reimagining the politics of child protection
Penerjemah: Nadia Damayanti
Diterjemahkan oleh sukarelawan komunitas kami. Hubungi tim penerjemah untuk informasi lebih lanjut.

Pada tanggal 29 Agustus, tiga remaja ditahan ketika mengikuti aksi yang disebut polisi sebagai acara ilegal di luar kantor polisi Sham Shui. Setelah penangkapan, hakim pengadilan Kowloon City memisahkan remaja-remaja tersebut dari orang tua mereka—mengeluarkan surat perintah dibawah pasal perlindungan anak dan remaja ayat 34, menyatakan bahwa remaja-remaja tersebut perlu ditahan di tahanan anak.

Salah satu dari remaja yang ditahan, seorang remaja laki-laki berumur 15 tahun, berhasil melayangkan pengajuan untuk keluar dari penjara, untuk mengajukan peninjauan kembali mengenai kelayakan perintah penahanan dari hakim. Namun permintaan lain remaja laki-laki tersebut adalah sebuah surat perintah yang bersifat habeas corpus, yang akan membebaskannya segera, ditolak oleh hakim. Hakim mempertahankan surat perintah penahanan karena terdapat dasar hukum yang sah—mengenai “pernyataan tentang kesehatan remaja laki-laki tersebut”—untuk melakukan penahanan.

Apakah pilihan tersebut dibuat berdasarkan perlindungan anak—atau apakah ini hanya sebagai bentuk dominasi yang dimotivasi kepentingan politik? Anak-anak muda sudah memainkan peranan penting dalam sejarah pergerakan sosial di Hong Kong, mendemonstrasikan sifat dan masa muda mereka, namun bukan berarti hal tersebut mematikan aksi dan semangat para anak muda Hong Kong. Di tahun 2012, mereka berhasil menggulingkan kurikulum mengenai Pendidikan Moral dan Nasional dan di tahun 2014, anak-anak muda Hong Kong memulai pergerakan Umbrella Movement. Tahun ini, anak-anak muda kembali menjadi garda perubahan terdepan—seorang remaja tertembak dan terluka parah oleh polisi pada hari Senin, dan yang dilakukan oleh pihak berwenang adalah menahan para demonstran yang berumur 12 tahun.


Di bawah sistem perundang-undangan Hong Kong, undang-undang perlindungan anak dapat menjadi alat untuk menekan dan menakuti para demonstran.

Sudut pandang liberal dan paternalistis menganggap bahwa anak-anak merupakan pihak rentan yang tidak bisa terhindar dari situasi seperti ini dan hanya dapat dilindungi oleh orang-orang dewasa. Namun ketika anak-anak mulai bergerak bersama melawan ketidakadilan dan penindasan dengan kekerasan, rezim perlindungan anak yang bersifat paternalis menggunakan cara-cara yang lebih kejam dan tidak manusiawi.

Ketika para remaja ditahan di rumah tahanan anak telah dibebaskan—dua dari mereka setelah melewati batasan waktu penahanan yang telah ditetapkan; remaja yang ketiga dibebaskan dengan catatan di bawah jam malam, menunggu penundaan peninjauan kembali—penahanan mereka memperlihatkan bahwa usia muda para demonstran Hong Kong digunakan sebagai senjata untuk melawan para pemuda mereka. Kekuatan regulasi perlindungan anak mulai diwarnai nuansa politik. Alih-alih memperbaiki kerentanan anak-anak yang mengikuti demonstrasi, regulasi tersebut malah memperburuk keadaan anak-anak muda di Hong Kong. Melindungi anak-anak dan menekan kegiatan mereka tidak memiliki perbedaan yang jauh.

Melawan Paternalisme

Undang-undang keluarga dari negara liberal menunjukan negara dengan justifikasi untuk intervensi terbatas pada privasi keluarga. Kasus terkuat dalam intervensi proteksionis anak di lingkup negara merupakan sebuah respon yang penting untuk mencegah hal-hal yang merugikan dan membahayakan, seperti kekerasan dan kelalaian. Namun, langkah-langkah perlindungan anak juga mengizinkan praktek logis eugenesis dengan membuka seluruh kemungkinan dalam rekayasa sosial, melalui jalur dan cara sebuah keluarga dan anak-anak perlu “diintervensi”. Dengan sejarah masa lalu negara-negara Barat melakukan penghapusan dan penekanan Masyarakat Pribumi, First Nations dan anak-anak Suku Aborigin dalam mencoba membuat mereka hidup “beradab” merupakan ilustrasi yang mengerikan dari perlindungan anak-anak yang diselubungi kemungkinan jahat yang ditujukan pada mereka.

Sejarah seperti hal-hal tersebut merupakan alasan Pasal 9 dari Konvensi PBB pada Hak Anak melindungi hak-hak yang dimiliki oleh anak-anak, seperti hak menentang penghapusan tanpa dalil hukum dari sebuah keluarga, oleh negara, untuk anak dari sepasang orang tua. Hong Kong telah menandatangani pakta tersebut sejak tahun 1994. Konvensi tersebut merupakan sebuah pernyataan yang penting bagi hak anak yang berkaitan dengan hukum. Sudah sewajarnya hal tersebut menerangkan mengenai hukum dan kebijakan di Hong Kong, selain itu untuk mengkonfirmasi apa saja hak-hak anak di Hong Kong. Nyatanya, janji dari hukum Internasional—yang tidak memiliki karakter yang perlu ditegakkan seperti umumnya undang-undang dalam negeri—gagal menginstitusikan hak-hak anak yang perlu diperjuangkan.


Kita wajib memahami bahwa peran anak-anak sebagai aktor politik, sebagai pemegang hak atas diri mereka sendiri.

Sekalipun begitu, tanpa interogasi lebih lanjut pada lingkup privasi dan keluarga, oposisi liberal dalam ranah pengambilalihan hak anak dapat pula memperkuat keyakinan reaksioner bahwa sebuah keluarga sebaiknya menjadi sebuah tempat privasi, dimana orang tua memiliki kontrol tak terbatas pada seorang anak. Gagasan mengenai privasi di lingkungan rumah tangga dan keluarga didasarkan pada penerapan hak yang hanya ada di lingkup publik dan, sebagai seorang pakar teori feminis seperti Catherine MacKinnon menyatakan bahwa, pernah bertindak secara historis sebagai tabir untuk penindasan kepada perempuan dan anak-anak. Sayangnya, keluarga tidak bebas dari ide dan logika mengenai ketergantungan dan dominasi.

Hal ini tidak jauh dari pemikiran, yang dijajakan oleh Beijing dan dikupas secara tajam oleh pakar sosiologi Leta Hong Fincher, bahwa sebuah negara merupakan orang tua untuk dan bagi dirinya sendiri. Pemimpin dari negara-keluarga tersebut mengadopsi postur dari pater familias, memimpin seluruh populasi dengan menggunakan sistem top-down. Penentuan sikap dan prinsip diri di sini sungguh tak berarti, karena ayah sebagai seorang pemimpin keluarga tahu apa yang lebih baik untuk rakyatnya/perempuan/anak-anak. (Hal ini pula yang menjadikan media China akhir-akhir ini membahas mengenai gambaran misogonis Hong Kong sebagai istri yang tidak rasional atau anak yang tak tahu diuntung.

Untuk memahami sebuah politik yang jauh dari segi paternalistis dalam perlindungan anak—yang menjadikan kesejahteraan anak sebagai prioritas utama—kita wajib memahami bahwa peran anak-anak sebagai aktor politik, sebagai pemegang hak atas diri mereka sendiri. Di bawah kerangka kerja ini, suara seorang anak harus menjadi titik pusat penentuan kepentingan mereka. Hak dan kepentingan seorang anak tidak bisa digabung secara palsu agar menjadi sebuah komunitas yang besar, entah itu datang dari keluarga maupun negara.

Siswa SMA bergabung dengan pendemo menentang larangan penggunaan masker wajah pada hari pertama implementasi peraturan tersebut, 4 Oktober 2019. Foto: Alex Yun dari Lausan.

Anak-anak di barisan depan

Kerangka kerja ini mengungkap bagaimana sebuah tugas perlindungan anak di Hong Kong telah ditunggangi kepentingan politik semata. Jauh dari kepedulian yang nyata untuk memperjuangkan hak-hak anak, pengadilan memutuskan yurisdiksi perlindungan anak untuk menghalau gelombang protes yang datang dari anak-anak. Pengadilan dengan sengaja mengabaikan konteks yang dimaksud dalam menjadi seorang anak yang hidup dalam situasi politik yang terjadi di Hong Kong saat ini. Perintah tersebut mengkhianati sistem paternalis bahwa anak-anak sebaiknya tidak tergabung di dalam hiruk pikuk gelombang protes, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perilaku politik merupakan kelakuan buruk.

Kap subordinasi hukum dan politik bagi anak-anak, seperti semua bentuk subordinasi sosial, belum pernah bisa dihindari.

Di bawah sistem perundang-undangan Hong Kong, yang semakin hari semakin melarang perbedaan pendapat, undang-undang perlindungan anak dapat menjadi alat untuk menekan dan menakuti para demonstran. Titik penting di sini adalah surat perintah dari hakim menjadi alat yang tepat guna untuk menjadikan anak-anak sebagai dan berlaku layaknya anak-anak untuk menghukum mereka dalam aksi protes dengan demikian memperlakukan hukum sebagai alat subordinasi. Namun, melihat dan bereaksi pada keadaan buruk anak-anak di Hong Kong, jawabannya tidak semudah menggandakan batasan liberal pada ranah publik dan privat. KIta harus mengkritisi dan mencermati paternalisme sebagai logika interen dari keluarga di ranah privat, sebagaimana orang tua membesarkan anak-anak mereka dan sebagaimana kita mendidik anak-anak di sekolah.

Anak-anak muda Hong Kong telah memainkan peran penting dalam kegiatan politik dan sipil. Kita memerlukan gambaran politik yang baru yang dapat memahami dan memperluas cakupan partisipasi anak muda dalam politik. Ini berarti adanya inklusi dari anak-anak di dalam perhimpunan dalam segi substantif, baik dengan memberi mereka izin untuk memberikan suara pada pemilu, melakukan protes, berpartisipasi dalam tindakan hukum, atau sebaliknya, berpartisipasi dalam lingkup politik. Hal ini juga akan menjadi diskusi yang membutuhkan pemikiran kritis mengenai keluarga sebagai titik tumbuhnya politik, dan khususnya penilaian anak dalam keluarga inti—sembari membongkar tabir privasi yang begitu berbahayanya bagi wanita, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya.

Dengan menolak paham paternalisme di seluruh aspek masyarakat, kita dapat mengungkap subordinasi hukum dan politik bagi anak-anak, seperti semua bentuk subordinasi sosial, belum pernah bisa dihindari. Sebagai gantinya, kita wajib menata kembali politik perlindungan anak agar terciptanya emansipasi politik untuk Hong Kong.